Masyarakat Bali Seperti Katak Rebus
Dec 20, 13Masyarakat Bali Seperti Katak Rebus Dibali ada berbagai semboyan
yang dipakai menyindir dan mengingatkan perilaku seseorang. Beberapa
semboyan itu di antaranya sebagai berikut:
"Ngadep carik ngae gelebeg/jineng" (menjual sawah untuk dipakai membuat
gudang tempat menyimpan padi). Semboyan ini menyindir orang yang menjual
sawah untuk dipakai mempercantik rumah, merenovasi merajan atau membeli
mobil baru yang bergengsi, atau untuk berupacara yang megah meriah agar
dikagumi oleh masyarakat.
"Cara patapan roko, pamuputne lakar telah", (seperti rokok, pada akhirnya
akan habis menjadi abu). Semboyan ini ditujukan kepada orang yang menjual
tanah warisan untuk dipakai bersenang-senang seperti berjudi, mabuk-mabukan,
selingkuh atau memborong barang-barang mewah yang biaya perawatannya mahal.
Orang seperti itu juga dijuluki "ngatik bangbung" yaitu penampilan luarnya
memang hebat, tetapi di dalamnya kosong melompong. Mula-mula dia menjual 2
are, jika ada keperluan maka lagi menjual 3 are, 4 are, 7 are dan seterusnya
sehingga akhirnya habis terjual untuk membiayai berbagai kesenangan duniawi.
"Cara kuluk medem di arepan bungut jalikane, sayan gudig bulunne" (seperti
anjing yang suka tidur di depan tungku dapur mencari kehangatan, akhirnya
habislah bulunya terbakar sehingga dijuluki "cicing gudig" yang
menjijikkan). Semboyan ini menyindir orang yang malas, tetapi ingin hidup
enak. Pada akhirnya dia jatuh miskin sehingga dijauhi oleh masyarakat.
"Cara sendok komoh sing nawang rasan komoh" (seperti sendok, walaupun
menyelam di dalam kuah sejenis gulai khas bali, tetapi tidak merasakan
enaknya kuah). Ini menyindir penduduk lokal yang tinggal di wilayah
pusat-pusat perekonomian, tetapi mereka tidak bisa menikmati rejeki yang
berlimpah.
"Cara I Godogan bengong di samping bungan tunjunge, tusing nawang di bungan
tunjunge ada madu. Nyawane uli joh teka maruyuan ngisep madune ane ada di
bungan tunjunge". (seperti kodong yang bengong ngelamun di samping bunga
teratai, dia tidak mengetahui di situ ada madu. Tetapi lebah yang jauh
datang berduyun-duyun mengisap madu tersebut). Semboyan ini menyindir
penduduk asli (lokal) yang kalah bersaing merebut rejeki melawan kaum
pendatang. Seperti pulau Bali, diserbu oleh para pendatang yang menguasai
pusat-pusat perekonomian strategis yang bertebaran di Bali. Sedangkan
penduduk asli Bali tenang-tenang saja seperti katak yang tidak tahu madu.
Konon di Inggris ada juga semboyan yang mirip dengan katak bodoh di Bali,
tetapi disana disebut "katak rebus". Ceritanya, katak itu jika dicemplungkan
kedalam panci yang berisi air panas, maka dia spontan meloncat keluar.
Tetapi jika dicemplungkan kedalam panci yang berisi air dingin maka dia
diam. Kalau air panci tersebut dipanaskan secara perlahan, kodok itu tetap
diam sampai akhirnya mati terebus.
Jika anda iseng mengamati kondisi sosial ekonomi umat Hindu di Bali, maka
Anda akan melihat kondisi perekonomian mereka seperti nasib "katak rebus".
Secara perlahan mereka direbus oleh panasnya 4 jenis masalah yaitu:
Kesulitan ekonomi yang semakin mencekik leher.
Biaya kesehatan yang mahal (sewa kamar, obat dan jasa dokter semuanya
mahal).
Biaya pendidikan mahal.
Biaya upacara juga mahal.
Kesulitan yang ditimbulkan oleh ke-4 masalah itu memang pelan-pelan, tetapi
semakin lama makin sulit. Contohnya harga beras, setahun yang lalu harganya
Rp 4.000,-/kg, kemudian secara perlahan naik menjadi dua kali lipatnya,
yaitu Rp 8.000,-/kg. Dengan demikian 10 tahun kedepan akan makin banyak umat
Hindu yang menjadi "katak rebus". Terutama mereka yang miskin tinggal di
dekat pantai Selatan Pulau Bali. Sebab tanah pertaniannya sudah 35 % digerus
oleh ombak dan akan terus tergerus. Disuatu Subak yang dulunya luas
sawahnya 100 hektar sekarang yang tersisa hanya 65 hektar, yang 35 hektar
sudah menjadi laut. Sementara itu jumlah penduduknya tumbuh menjadi 3 X
lipat, yang awalnya 100 KK sekarang menjadi 300 KK. Daya dukung alam
menyempit sedangkan jumlah manusia berlipat ganda. Mau meloncat keluar desa
tidak bisa karena tidak punya ketrampilan dan tidak ada modal. Kondisi
seperti itulah yang disebut seperti "katak rebus".
Dilain pihak sumber-sumber ekonominya terus diserbu dan dikuasai oleh kaum
pendatang. Yang tambah parah lagi ialah upacara agama jor-joran yang
mewajibkan umat membayar iuran (urunan) lumayan besar. Disatu pihak
pendapatan mereka menurun karena perekonomian dikuasai kaum pendatang, di
lain pihak pengeluaran mereka membengkak dengan adanya wajib membayar
urunan. Belum lagi biaya sekolah anak-anak yang mahal, biaya berobat juga
mahal. Kalau sudah begitu kejadiannya, jika Anda tidak berusaha
menyelamatkan keluarga, maka nasib Anda akan menjadi "katak rebus".
Para cendekiawan mengatakan bahwa sekarang semua manusia di seluruh dunia
menghadapi 4 (empat) tantangan yaitu:
Tantangan Ekonomi.
Tantangan Kesehatan.
Tantangan Intelektual.
Tantangan Kerohanian/Kejiwaan.
Kebanyakan orang mengeluh mengatakan bahwa situasi ekonomi semakin lama
semakin mencekik leher. Hanya sedikit yang tidak mengeluh karena ekonominya
sudah mapan.
Di berbagai Negara terjadi gejolak politik dan demonstrasi anarkis karena
dipicu oleh kesulitan ekonomi. Hal ini disebabkan karena para penguasa besar
kelas Dunia terlalu rakus menarik keuntungan pribadi. Mereka menarik
keuntungan setinggi-tingginya tanpa ada timbal balik kepada para
konsumennya. Pemerintah di berbagai Negara belum mampu mengendalikan
kerakusan dan keliaran mereka. Disamping itu lahan pertanian dan kawasan
hutan semakin menyempit, sedangkan jumlah penduduk semakin banyak berlipat
ganda yang memerlukan makanan, pakaian, perumahan dan sarana lainnya juga
berlipat ganda. Hal tersebut menyebabkan harga barang semakin mahal. Bahkan
ada yang mengatakan harga manusia lebih murah dibandingkan dengan harga
barang. Salah satu contohnya sebagai berikut: Si Anu kepingin punya sepeda
motor, tetapi tidak mampu membelinya. Karena keinginannya terus menuntut
agar dia bisa mengendarai sepeda motor, maka dia menempuh jalan pintas yaitu
dengan menghadang pengendara sepeda motor di ruas jalan yang sepi.
Pemiliknya dibunuh, sepeda motornya dilarikan. Dalam contoh kasus ini harga
nyawa manusia lebih murah dari harga sebuah sepeda motor. Masih ada
kasus-kasus lainnya yang mencerminkan harga nyawa manusia lebih murah dari
harga barang, seperti pencuri TV. Yang kepergok lalu membunuh pemiliknya.
Gara-gara berebutan tanah pekarangan hanya beberapa meter, tega membunuh
adik kandungnya. Gara-gara seekor ayam jantan yang lepas mengganggu tetangga
memicu perkelahian yang sengit sampai membunuh tetangga. Ada yang karena
amat susah tidak mampu melunasi hutang di Bank lalu minum racun dan
sebagainya.
QnomalI iklim berpengaruh buruk terhadap produksi pertanian dan juga
terhadap kesehatan manusia. Berbagai virus baru bermunculan seperti virus
penyakit sapi gila, virus flu burung, flu babi, demam berdarah, AIDS/HIV,
dan sebagainya. Virus yang sudah lama tidur (laten) sekarang muncul lagi
seperti virus Rabies (anjing gila) menyerang manusia. Semua penyakit itu
mematikan jika penanganannya telat karena sulit diobati.
Berbagai makanan dan minuman yang dicampuri bahan kimia berbahaya ikut
mengancam kesehatan manusia. Belum lagi yang dicampuri melamin yang bersifat
karsiogenik, minyak goreng dicampur oli atau solar, gula dicampuri sari
manis, makanan anak-anak diberi zat pewarna berbahaya, daging diberi pewarna
yang sebenarnya adalah zat beracun sehingga tampak merah segar. Sapi potong
dan ayam potong dipacu pertumbuhannya dengan menyuntikkan hormon,
antibiotika dan vaksin. Dagingnya yang dimakan oleh manusia masih mengandung
zat-zat tersebut yang faktanya membahayakan kesehatan manusia. Itulah
makanya orang yang gemar makan daging mengalami sakit degenerative seperti:
asam urat, kencing manis (diabetes), kolesterol, jantung koroner, gagal
ginjal, tekanan darah tinggi (hypertensi) dan ada yang setruk terus lumpuh.
Biaya perawatan juga mahal. Sewa kamar saja Rp 500.000,-/hari belum lagi
harga obat dan jasa dokter yang juga mahal. Untuk mengobati sakit demam
berdarah saja bisa merogoh kocek antara 5-8 juta.
Tuhan memberikan manusia kecerdasan semestinya dipergunakan untuk
tolong-menolong dan tidak menyakiti. Tetapi kenyataanya malah orang-orang
yang pandai kebanyakan loba mengeruk keuntungan yang sebanyak-banyaknya
untuk dirinya atau golongannya. Bahkan ada yang dipakai menipu, memanipulasi
hukum, korupsi dan sebagainya. Termasuk dalam kegiatan beragama juga ada
praktik manipulasi. Misalnya upacara yang cukup dengan ukuran madya,
dibesar-besarkan menjadi utama yang biayanya dibebankan kepada Krama Desa
dipikul secara sama rata sehingga memberatkan umat golongan miskin. Untuk
makan hari ini saja mereka pas-pasan, lagi harus membayar iuran (paturunan)
jutaan rupiah tentu amat menyusahkan mereka. Umat yang miskin berusaha
berhutang kesana kemari agar bisa membayar iuran, sebab jika tidak mampu
melunasinya sampai batas waktu yang ditetapkan oleh Prajuru Desa, akan
dikenai sanksi. Agama diturunkan oleh Tuhan sebenarnya untuk memandu
kehidupan manusia termasuk diantaranya untuk mengentaskan kemiskinan. Bukan
salahnya agama, tetapi karena ulah oknum-oknum yang "rajasik" ingin
menampilkan upacara yang "wah meriah" di mata turis dengan dalih "ajeg
Bali".
Biaya pendidikan semakin lama semakin mahal. Keluarga yang ekonominya lemah
tidak mampu meneruskan pendidikan anak-anaknya sampai Perguruan Tinggi.
Paling banter sampai di SMU saja, itu pun dengan usaha amat keras
mengencangkan ikat pinggang.
Anak-anak yang pendidikannya tanggung dan tidak memiliki ketrampilan yang
dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja, sulit mendapatkan pekerjaan. Akibatnya
terpaksa menjadi buruh apa saja agar bisa makan. Sebagian dari mereka
menjadi pengangguran terselubung dan malah ada yang terjerumus menjadi
preman jalanan. Mereka sangat memerlukan uluran tangan dari para cerdik
pandai, tetapi tidak ada yang peduli menjadi orang tua asuh untuk mengangkat
derajat mereka.
Arus globalisasi keduniawian melanda umat manusia di seluruh dunia.
Kebanyakan orang berlomba mengejar isi dunia dan mengabaikan kerohanian. Ada
yang menumpuk kekayaan, ada yang memburu kedudukan, jabatan, pangkat dan
ketenaran. Keinginan mereka terus berkembang seperti langit tidak pernah
puas dengan isi dunia.
Di bidang agama juga kena imbas. Yang diutamakan adalah penampilan luarnya
berupa upacara yang megah meriah berhura-hura. Sedangkan kegiatan untuk
pengisian rohani (filsafat) diabaikan. Walaupun sering ada dharma wecana di
layar TV, isi dharma wecananya kebanyakan berkutat tentang upacara dan
berbagai jenis banten. Ketimpangan antara kegiatan upacara, susila dan
filsafat dapat kita amati pada waktu menyambut hari odalan di Pura Desa.
Tiga hari sebelum odalan, Krama Desa laki perempuan sibuk bergotong-royong
(ngayah) untuk mengerjakan berbagai perlengkapan upacara. Selama 3 hari
terus sibuk hanya kerja fisik, sama sekali tidak ada waktu untuk pengisian
rohani.
Pas pada hari odalan, mulai dari jam 04.00 - 09.00 pagi juga sibuk "mebat"
membuat "ben banten". Dari jam 09.00 - 16.00 waktu jeda. Pas jam 16.00
kentongan dibunyikan pertanda semua Krama Desa laki perempuan dan anak-anak
harus hadir di Pura untuk mengikuti proses upacara odalan. Setelah Sang
Sulinggih selesai "mapuja menghaturkan banten piodalan", dilakukan
sembahyang bersama. Setelah selesai sembahyang, "nunas wangsuh pada + bija"
lalu bubar. Besoknya selama 3 hari "nyejer" juga dilakukan persembahyangan.
Biasanya disertai dengan pertunjukkan tari-tarian atau wayang kulit. Pada
hari ketiga setelah odalan barulah "nyineb/nyimpen". Begitulah praktek agama
Hindu di Desa Pakraman dari dulu sampai sekarang. Upacara odalan yang
diselenggarakan setiap 6 bulan sekali selama 6 hari di dominasi oleh
kegiatan fisik, tidak diimbangi dengan pengisian rohani (filsafat).
Pengisian filsafat yang dulunya dapat disisipkan dalam pertunjukkan kesenian
seperti wayang kulit sekarang sudah mulai diplintir hanya sebagai humor dan
hiburan semata. Sehingga otomatis semua rangkaian upacara itu hanya
menyentuh panca indra saja. Jadi hanya panca indra yang kenyang atau senang,
sedangkan rohaninya kelaparan karena tidak diberi santapan rohani. Itulah
makanya pada umumnya rohani umat Hindu lemah karena kelaparan. Rohani yang
lemah menyebabkan moral runtuh.
Seandainya hati kecil Anda membantah hal ini, cobalah iseng merenungkan
cerita singkat para orang Suci berikut:
Di bawah pohon mangga yang buahnya lebat, sebagian buahnya ada yang sudah
rusak, ada dua orang (si A dan si B) duduk latihan meditasi. Beberapa saat
kemudian ada buah mangga yang sudah masak jatuh di depan mereka.
Si A bertanya kepada si B: "apa yang menyebabkan buah mangga itu jatuh?"
Si B menjawab: "karena digetarkan oleh tiupan angin".
Si A menyangkal: " bukan angin melainkan karena sudah masak".
Si B menyangkal: "bukan karena masak, melainkan karena ditarik oleh daya
tarik bumi (hukum gravitasi)". Begitulah perdebatan itu berkepanjangan
karena saling mempertahankan pendapat. Kemudian si C datang memungut buah
mangga itu lalu dimakannya. Si A dan si B asyik berdebat sedangkan si C
asyik menikmati buah mangga yang manis.
Kurang lebih seperti itulah nasib orang Bali yang suka memperdebatkan
sesuatu yang tidak perlu Misalnya antara orang yang suka dengan penampilan
upacara yang megah meriah berhura-hura dengan orang yang berupacara
sederhana, rasional sesuai dengan petunjuk sastra agama. Antara parisadha A
dengan parisadha B, antara kulit A dengan kulit D. Yang berkulit A merasa
lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan si kulit D. Si kulit D tidak mau
direndahkan martabatnya lalu memasang merk kulit Ratu Bagus, Ratu Ngurah,
Ratu Bhagavan. Pada pintu gerbang rumahnya juga dipasangin plakat Gerya Ratu
Bagus, Gerya Ratu Bhagavan dan sebagainya. Hanya masalah merk dari "Si"
menjadi "Gusti" sampai menyeret Krama Banjar untuk saling kroyok. Orang yang
terlalu fanatic dengan kulit disebut orang berpenyakit kulit atau disebut
"Krpana" artinya orang yang rohaninya lemah dan miskin (Bhagavadgita Menurut
Aslinya hal. 78). Rsi Astavakra menamakan orang itu seperti tukang sepatu.
Sebab tukang sepatu sangat menghargai kulit untuk dijadikan sepatu yang laku
dijual dengan harga mahal. Jadi jika ada orang yang masih mengagung-agungkan
kulitnya dan menganggap kulit orang lain rendah, orang itu adalah sederajat
dengan tukang sepatu.
Seperti si A dan si B yang melihat ada buah mangga jatuh di depannya duduk
semestinya mereka mengambil buah mangga itu untuk dimakan bersama, tetapi
karena asyik memperdebatkan penyebab jatuhnya buah mangga makanya si C lah
yang mengambilnya. Orang Bali yang tinggal di pusat-pusat perekonomian
kebanyakan si A dan si B. mereka tidak segera mengambil keuntungan (rejeki)
dari pusat-pusat perekonomian itu karena suka berdebat dan berdalih,
sehingga sumber-sumber rejekinya diserobot dan dinikmati oleh kaum
pendatang.
Mereka akhirnya mendapat rejeki kelas picisan seperti jasa parkir, satpam,
pengamanan café, ngecer togel, menjual ceper atau canang sari dan yang
sejenis.
Jadi keempat tekanan tersebut di atas yaitu tekanan ekonomi, kesehatan,
intelektual dan tekanan rohani menyebabkan rohaninya lemah. Rohani yang
lemah menyebabkan tidak percaya diri, pesimis dan kemerosotan moral. Cirinya
moralnya merosot dapat dilihat dari beberapa kejadian sebagai berikut:
Sabung ayam diadakan di Jaba Pura atau di dekat Pura dengan dalih "tabuh
rah". Hal ini merusak mental anak-anak, menganggu keuangan rumah tangga dan
mencemari kesucian upacara. Sebab agama melarang umatnya berjudi, karena
judi itu tergolong dosa besar (Manava Dharma Sastra IV. 74 dan IX. 221-224).
Mabuk, berjudi dan selingkuh adalah tiga dosa besar. Ketiga dosa itu disebut
tiga jurang mengangga yang menyebabkan manusia jatuh sengsara. Orang yang
berani melakukan dosa besar ini dipersamakan dengan orang yang tidak
beragama (atheis) karena tidak percaya dengan perintah agama. Perintah agama
sama dengan perintah Tuhan. Orang yang melawan Tuhan adalah orang atheis.
Walaupun dia melakukan upacara dengan megah meriah, tidak berpahala karena
upacaranya merupakan pameran bakti untuk tontonan agar dikagumi oleh orang
banyak.
Masalah perkelahian dan saling kroyok terjadi di mana-mana. Tidak hanya di
café terjadi saling kroyok, di berbagai tempat di luar café pun terjadi
saling kroyok. Celakanya lagi justru pada hari-hari suci seperti pada
"Pangerupukan Nyepi" dan pada hari Galungan terjadi saling kroyok. Pihak
yang kalah masuk UGD bahkan ada yang sampai mati, sedangkan pihak yang
menang masuk penjara. Kalah menjadi abu, menang menjadi arang.
Café semakin menyebar sampai ke pelosok desa yang menyebabkan banyak suami
istri bercekcokan karena suaminya jarang di rumah, uangnya terkuras bahkan
ada yang sampai menjual tanah untuk biaya ini itu di café. Risikonya akan
ketularan penyakit AIDS/HIV. Café ini juga merusak moral para remaja,
merupakan pemicu pergaulan sex bebas. Menurut survey Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2010 bahwa 51 % remaja perempuan
umur 13-18 tahun tidak perawan dan 17% hamil di luar nikah yang pada
akhirnya digugurkan. Diantara mereka ada yang melahirkan di kamar mandi, ada
di parit sawah, ditempat pembuangan sampah dan rumah dukun.
Menurut berita di Koran bahwa hampir setiap hari terjadi kekerasan di rumah
tangga (KDRT). Sungguh kasihan nasib kaum perempuan yang menjadi korban
segala-galanya. Dimana kaum perempuan tidak dihormati maka keluarga itu akan
cepat hancur. Upacara apa pun yang dilaksanakan di keluarga itu tidak
berpahala (Manava Dharma sastra III. 57). Sebaliknya di mana kaum perempuan
disayangi, disitu para dewa senang.
Pencabulan anak perempuan di bawah umur. Perbuatan ini tergolong dosa maha
besar atau Maha Pataka (Slokantara 77 hal. 121). Yang lebih menyayat hati
lagi ada di antaranya diperkosa oleh ayah kandung dan oleh kakeknya sendiri.
Kalau sudah begini kejadiannya, siapa yang mesti bertanggung jawab untuk
pengisian rohani umat Hindu? Bolehkah menuntut kepada tokoh yang
menggebu-gebu mendorong umat Hindu agar melakukan upacara yang megah meriah
berhura-hura? Di mana pahala upacara yang mengorbankan 26 ekor kerbau dengan
biaya 2,6 milyar? Adakah cara berupacara seperti itu akan membuat umat Hindu
yang polos dan lugu menjadi "katak rebus"?
Sengketa tanah, kuburan, perbatasan, sumber air, jalan, gang, jabatan
semakin meluas. Sengketa itu tidak hanya antara antara orang perorang,
tetapi sampai antar Banjar dengan Banjar. Hal ini merupakan salah satu ciri
bahwa orang Bali sudah terdesak oleh kaum pendatang yang menguasai
sumber-sumber rejeki di Bali kemudian menguasai tanah-tanah yang strategis
di Bali. Bukti keterdesakan orang Bali dapat diukur dari hunian dalam satu
pekarangan rumah. Pada Tahun 1965 satu pekarangan dihuni oleh 1 KK, tetapi
sekarang dihuni oleh 3 KK. Mengapa begitu? Karena tidak mampu membeli
pekarangan. Orang Bali Hindu menjadi seperti sekelompok ayam yang
ditempatkan di kandang yang sempit sehingga saling cakar (kanibal). Ayam
yang kalah akhirnya dimakan beramai-ramai oleh yang menang. Walaupun sudah
begitu kondisinya, tetapi Guru Raksasa Yoni terus saja mengebu-gebu
mendorong umat Hindu berhura-hura dengan dalih "mayadnya". Kekacauan di
rumah tangga disomya dengan Caru Resigana yang biayanya belasan juta rupiah.
Umat yang lugu manut-manut saja walaupun dia mengalami kerugian 2 X lipat
yaitu kekacauannya tidak mereda dan uangnya terkuras untuk upacara ini dan
upacara itu.
Sakit yang disebabkan oleh virus Rabies (anjing gila) tidak bisa disembuhkan
dengan boreh. Tetapi karena Guru Raksasa Yoni tahunya hanya boreh, maka
penderita Rabies pun diobati dengan boreh. Kekacauan rumah tangga yang
disebabkan oleh terpuruknya perekonomian tidak bisa disomya dengan caru
sebesar apapun. Bom di Kuta yang dipicu oleh teroris tidak bisa ditolak
dengan Caru Karipu Baya yang menelan biaya Rp 700 juta. Uang segitu akan
lebih bermanfaat jika digunakan membangun Pesantian atau mungkin panti
asuhan untuk anak-anak yang orang tuanya meninggal dan cacat gara-gara bom
tersebut.
Angka kematian dengan jalan gantung diri dan minum racun semakin meningkat.
Hal ini pun disomya dengan banten caru. Umat yang rohaninya lemah amat mudah
ditipu oleh iblis agar dia gantung diri atau minum racun. Sebab setelah umat
mati akan diadakan upacara pacaruan menjamu iblis. Umat yang tidak pernah
mendapat pencerahan tentang akibat dari perbuatan bunuh diri (ngulah pati),
mengira bahwa setelah mati habis perkara. Padahal rohnya akan menderita
sekian kali lipat di alam roh. Nyonya Aikogibo yang memiliki kemampuan
melihat roh dan berkomunikasi dengan roh mengatakan bahwa orang yang bunuh
diri rohnya mengalami penderitaan sampai 100 X lipat dibandingkan dengan
penderitaan pada waktu dia masih hidup. Itulah makanya semua agama di dunia
melarang umatnya bunuh diri.
Yang paling memalukan adalah pencurian benda-benda sakral oleh umat Hindu
sendiri. Contoh kejadian-kejadian ini adalah pertanda rohani uamt Hindu
lemah sehingga mudah ditipu oleh hantu dan iblis/setan. Kalau saja rohaninya
kuat (cerah) maka hal itu bisa dicegah. Mengapa rohaninya lemah? Karena
jarang sekali mendapat santapan rohani. Kalau badan tidak diberi makan dan
minum atu hari saja menyebabkan badan itu lemah. Begitu pula jika rohani
tidak diberi santapan rohani sama saja menjadi lemah. Badan yang lemah tidak
mampu menolak penyakit. Rohani yang lemah tidak mampu menolak bisikan yang
menyesatkan dan membahayakan. Caru ini dan caru itu hanya menguntungkan para
iblis dan Guru Raksasa Yoni mendapat daksina penuh. Buktinya sudah amat
sering di seluruh Bali diadakan caru ini dan caru itu mulai dari caru eka
sata sampai yang amat besar dengan mengorbankan banyak binatang, nyatanya
kemerosotan moral terus meningkat. Jika caru itu berpahala, semestinya
kehidupan umat Hindu semakin makmur, semakin rukun, tentram dan damai.
Semestinya kehidupan umat Hindu semakin makmur, semakin rukun, tentram dan
damai. Semestinya tidak terdesak oleh kaum pendatang. Kaum pendatang
mendirikan usaha besar di Bali, orang Bali mendirikan café. Jika ada tokoh
yang membantah pernyataan ini suruh dia membuat proyek di daerah miskin,
agar umat yang miskin menjadi makmur. Jika tidak mampu membuat proyek
mengentaskan kemiskinan, itu namanya seperti subatah (ulat penggerek kayu
yang mulutnya besar). Umat yang miskin tidak memerlukan teori muluk-muluk,
yang diperlukan tindakan nyata.
Nasib umat Hindu di Bali mirip dengan nasib rakyat di kerajaan Ekacakra
karena Rajanya dikalahkan oleh Raksasa Bakasura. Raja yang kalah melarikan
diri. Ada satu keluarga Brahmana yang masih tinggi di situ tidak mampu
melindungi rakyatnya.
Oleh Jero Mangku Wayan Swena
PENTING
Informasi yang disampaikan melalui e-mail ini hanya diperuntukkan bagi pihak penerima sebagaimana dimaksud pada tujuan e-mail ini saja. E-mail ini dapat berisi informasi atau hal-hal yang secara hukum bersifat rahasia. Segala bentuk kajian, penyampaian kembali, penyebarluasan, penyediaan untuk dapat diakses, dan/atau penggunaan lain atau tindakan sejenis atas informasi ini oleh pihak baik orang maupun badan selain dari pihak yang dimaksud pada tujuan e-mail ini adalah dilarang dan dapat diancam sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jika karena suatu kesalahan anda menerima informasi ini harap menghubungi Direktorat Jenderal Pajak c.q. Direktorat KITSDA dan segera menghapus e-mail ini beserta setiap salinan dan seluruh lampirannya.
Dec 20, 13Masyarakat Bali Seperti Katak Rebus Dibali ada berbagai semboyan
yang dipakai menyindir dan mengingatkan perilaku seseorang. Beberapa
semboyan itu di antaranya sebagai berikut:
"Ngadep carik ngae gelebeg/jineng" (menjual sawah untuk dipakai membuat
gudang tempat menyimpan padi). Semboyan ini menyindir orang yang menjual
sawah untuk dipakai mempercantik rumah, merenovasi merajan atau membeli
mobil baru yang bergengsi, atau untuk berupacara yang megah meriah agar
dikagumi oleh masyarakat.
"Cara patapan roko, pamuputne lakar telah", (seperti rokok, pada akhirnya
akan habis menjadi abu). Semboyan ini ditujukan kepada orang yang menjual
tanah warisan untuk dipakai bersenang-senang seperti berjudi, mabuk-mabukan,
selingkuh atau memborong barang-barang mewah yang biaya perawatannya mahal.
Orang seperti itu juga dijuluki "ngatik bangbung" yaitu penampilan luarnya
memang hebat, tetapi di dalamnya kosong melompong. Mula-mula dia menjual 2
are, jika ada keperluan maka lagi menjual 3 are, 4 are, 7 are dan seterusnya
sehingga akhirnya habis terjual untuk membiayai berbagai kesenangan duniawi.
"Cara kuluk medem di arepan bungut jalikane, sayan gudig bulunne" (seperti
anjing yang suka tidur di depan tungku dapur mencari kehangatan, akhirnya
habislah bulunya terbakar sehingga dijuluki "cicing gudig" yang
menjijikkan). Semboyan ini menyindir orang yang malas, tetapi ingin hidup
enak. Pada akhirnya dia jatuh miskin sehingga dijauhi oleh masyarakat.
"Cara sendok komoh sing nawang rasan komoh" (seperti sendok, walaupun
menyelam di dalam kuah sejenis gulai khas bali, tetapi tidak merasakan
enaknya kuah). Ini menyindir penduduk lokal yang tinggal di wilayah
pusat-pusat perekonomian, tetapi mereka tidak bisa menikmati rejeki yang
berlimpah.
"Cara I Godogan bengong di samping bungan tunjunge, tusing nawang di bungan
tunjunge ada madu. Nyawane uli joh teka maruyuan ngisep madune ane ada di
bungan tunjunge". (seperti kodong yang bengong ngelamun di samping bunga
teratai, dia tidak mengetahui di situ ada madu. Tetapi lebah yang jauh
datang berduyun-duyun mengisap madu tersebut). Semboyan ini menyindir
penduduk asli (lokal) yang kalah bersaing merebut rejeki melawan kaum
pendatang. Seperti pulau Bali, diserbu oleh para pendatang yang menguasai
pusat-pusat perekonomian strategis yang bertebaran di Bali. Sedangkan
penduduk asli Bali tenang-tenang saja seperti katak yang tidak tahu madu.
Konon di Inggris ada juga semboyan yang mirip dengan katak bodoh di Bali,
tetapi disana disebut "katak rebus". Ceritanya, katak itu jika dicemplungkan
kedalam panci yang berisi air panas, maka dia spontan meloncat keluar.
Tetapi jika dicemplungkan kedalam panci yang berisi air dingin maka dia
diam. Kalau air panci tersebut dipanaskan secara perlahan, kodok itu tetap
diam sampai akhirnya mati terebus.
Jika anda iseng mengamati kondisi sosial ekonomi umat Hindu di Bali, maka
Anda akan melihat kondisi perekonomian mereka seperti nasib "katak rebus".
Secara perlahan mereka direbus oleh panasnya 4 jenis masalah yaitu:
Kesulitan ekonomi yang semakin mencekik leher.
Biaya kesehatan yang mahal (sewa kamar, obat dan jasa dokter semuanya
mahal).
Biaya pendidikan mahal.
Biaya upacara juga mahal.
Kesulitan yang ditimbulkan oleh ke-4 masalah itu memang pelan-pelan, tetapi
semakin lama makin sulit. Contohnya harga beras, setahun yang lalu harganya
Rp 4.000,-/kg, kemudian secara perlahan naik menjadi dua kali lipatnya,
yaitu Rp 8.000,-/kg. Dengan demikian 10 tahun kedepan akan makin banyak umat
Hindu yang menjadi "katak rebus". Terutama mereka yang miskin tinggal di
dekat pantai Selatan Pulau Bali. Sebab tanah pertaniannya sudah 35 % digerus
oleh ombak dan akan terus tergerus. Disuatu Subak yang dulunya luas
sawahnya 100 hektar sekarang yang tersisa hanya 65 hektar, yang 35 hektar
sudah menjadi laut. Sementara itu jumlah penduduknya tumbuh menjadi 3 X
lipat, yang awalnya 100 KK sekarang menjadi 300 KK. Daya dukung alam
menyempit sedangkan jumlah manusia berlipat ganda. Mau meloncat keluar desa
tidak bisa karena tidak punya ketrampilan dan tidak ada modal. Kondisi
seperti itulah yang disebut seperti "katak rebus".
Dilain pihak sumber-sumber ekonominya terus diserbu dan dikuasai oleh kaum
pendatang. Yang tambah parah lagi ialah upacara agama jor-joran yang
mewajibkan umat membayar iuran (urunan) lumayan besar. Disatu pihak
pendapatan mereka menurun karena perekonomian dikuasai kaum pendatang, di
lain pihak pengeluaran mereka membengkak dengan adanya wajib membayar
urunan. Belum lagi biaya sekolah anak-anak yang mahal, biaya berobat juga
mahal. Kalau sudah begitu kejadiannya, jika Anda tidak berusaha
menyelamatkan keluarga, maka nasib Anda akan menjadi "katak rebus".
Para cendekiawan mengatakan bahwa sekarang semua manusia di seluruh dunia
menghadapi 4 (empat) tantangan yaitu:
Tantangan Ekonomi.
Tantangan Kesehatan.
Tantangan Intelektual.
Tantangan Kerohanian/Kejiwaan.
Kebanyakan orang mengeluh mengatakan bahwa situasi ekonomi semakin lama
semakin mencekik leher. Hanya sedikit yang tidak mengeluh karena ekonominya
sudah mapan.
Di berbagai Negara terjadi gejolak politik dan demonstrasi anarkis karena
dipicu oleh kesulitan ekonomi. Hal ini disebabkan karena para penguasa besar
kelas Dunia terlalu rakus menarik keuntungan pribadi. Mereka menarik
keuntungan setinggi-tingginya tanpa ada timbal balik kepada para
konsumennya. Pemerintah di berbagai Negara belum mampu mengendalikan
kerakusan dan keliaran mereka. Disamping itu lahan pertanian dan kawasan
hutan semakin menyempit, sedangkan jumlah penduduk semakin banyak berlipat
ganda yang memerlukan makanan, pakaian, perumahan dan sarana lainnya juga
berlipat ganda. Hal tersebut menyebabkan harga barang semakin mahal. Bahkan
ada yang mengatakan harga manusia lebih murah dibandingkan dengan harga
barang. Salah satu contohnya sebagai berikut: Si Anu kepingin punya sepeda
motor, tetapi tidak mampu membelinya. Karena keinginannya terus menuntut
agar dia bisa mengendarai sepeda motor, maka dia menempuh jalan pintas yaitu
dengan menghadang pengendara sepeda motor di ruas jalan yang sepi.
Pemiliknya dibunuh, sepeda motornya dilarikan. Dalam contoh kasus ini harga
nyawa manusia lebih murah dari harga sebuah sepeda motor. Masih ada
kasus-kasus lainnya yang mencerminkan harga nyawa manusia lebih murah dari
harga barang, seperti pencuri TV. Yang kepergok lalu membunuh pemiliknya.
Gara-gara berebutan tanah pekarangan hanya beberapa meter, tega membunuh
adik kandungnya. Gara-gara seekor ayam jantan yang lepas mengganggu tetangga
memicu perkelahian yang sengit sampai membunuh tetangga. Ada yang karena
amat susah tidak mampu melunasi hutang di Bank lalu minum racun dan
sebagainya.
QnomalI iklim berpengaruh buruk terhadap produksi pertanian dan juga
terhadap kesehatan manusia. Berbagai virus baru bermunculan seperti virus
penyakit sapi gila, virus flu burung, flu babi, demam berdarah, AIDS/HIV,
dan sebagainya. Virus yang sudah lama tidur (laten) sekarang muncul lagi
seperti virus Rabies (anjing gila) menyerang manusia. Semua penyakit itu
mematikan jika penanganannya telat karena sulit diobati.
Berbagai makanan dan minuman yang dicampuri bahan kimia berbahaya ikut
mengancam kesehatan manusia. Belum lagi yang dicampuri melamin yang bersifat
karsiogenik, minyak goreng dicampur oli atau solar, gula dicampuri sari
manis, makanan anak-anak diberi zat pewarna berbahaya, daging diberi pewarna
yang sebenarnya adalah zat beracun sehingga tampak merah segar. Sapi potong
dan ayam potong dipacu pertumbuhannya dengan menyuntikkan hormon,
antibiotika dan vaksin. Dagingnya yang dimakan oleh manusia masih mengandung
zat-zat tersebut yang faktanya membahayakan kesehatan manusia. Itulah
makanya orang yang gemar makan daging mengalami sakit degenerative seperti:
asam urat, kencing manis (diabetes), kolesterol, jantung koroner, gagal
ginjal, tekanan darah tinggi (hypertensi) dan ada yang setruk terus lumpuh.
Biaya perawatan juga mahal. Sewa kamar saja Rp 500.000,-/hari belum lagi
harga obat dan jasa dokter yang juga mahal. Untuk mengobati sakit demam
berdarah saja bisa merogoh kocek antara 5-8 juta.
Tuhan memberikan manusia kecerdasan semestinya dipergunakan untuk
tolong-menolong dan tidak menyakiti. Tetapi kenyataanya malah orang-orang
yang pandai kebanyakan loba mengeruk keuntungan yang sebanyak-banyaknya
untuk dirinya atau golongannya. Bahkan ada yang dipakai menipu, memanipulasi
hukum, korupsi dan sebagainya. Termasuk dalam kegiatan beragama juga ada
praktik manipulasi. Misalnya upacara yang cukup dengan ukuran madya,
dibesar-besarkan menjadi utama yang biayanya dibebankan kepada Krama Desa
dipikul secara sama rata sehingga memberatkan umat golongan miskin. Untuk
makan hari ini saja mereka pas-pasan, lagi harus membayar iuran (paturunan)
jutaan rupiah tentu amat menyusahkan mereka. Umat yang miskin berusaha
berhutang kesana kemari agar bisa membayar iuran, sebab jika tidak mampu
melunasinya sampai batas waktu yang ditetapkan oleh Prajuru Desa, akan
dikenai sanksi. Agama diturunkan oleh Tuhan sebenarnya untuk memandu
kehidupan manusia termasuk diantaranya untuk mengentaskan kemiskinan. Bukan
salahnya agama, tetapi karena ulah oknum-oknum yang "rajasik" ingin
menampilkan upacara yang "wah meriah" di mata turis dengan dalih "ajeg
Bali".
Biaya pendidikan semakin lama semakin mahal. Keluarga yang ekonominya lemah
tidak mampu meneruskan pendidikan anak-anaknya sampai Perguruan Tinggi.
Paling banter sampai di SMU saja, itu pun dengan usaha amat keras
mengencangkan ikat pinggang.
Anak-anak yang pendidikannya tanggung dan tidak memiliki ketrampilan yang
dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja, sulit mendapatkan pekerjaan. Akibatnya
terpaksa menjadi buruh apa saja agar bisa makan. Sebagian dari mereka
menjadi pengangguran terselubung dan malah ada yang terjerumus menjadi
preman jalanan. Mereka sangat memerlukan uluran tangan dari para cerdik
pandai, tetapi tidak ada yang peduli menjadi orang tua asuh untuk mengangkat
derajat mereka.
Arus globalisasi keduniawian melanda umat manusia di seluruh dunia.
Kebanyakan orang berlomba mengejar isi dunia dan mengabaikan kerohanian. Ada
yang menumpuk kekayaan, ada yang memburu kedudukan, jabatan, pangkat dan
ketenaran. Keinginan mereka terus berkembang seperti langit tidak pernah
puas dengan isi dunia.
Di bidang agama juga kena imbas. Yang diutamakan adalah penampilan luarnya
berupa upacara yang megah meriah berhura-hura. Sedangkan kegiatan untuk
pengisian rohani (filsafat) diabaikan. Walaupun sering ada dharma wecana di
layar TV, isi dharma wecananya kebanyakan berkutat tentang upacara dan
berbagai jenis banten. Ketimpangan antara kegiatan upacara, susila dan
filsafat dapat kita amati pada waktu menyambut hari odalan di Pura Desa.
Tiga hari sebelum odalan, Krama Desa laki perempuan sibuk bergotong-royong
(ngayah) untuk mengerjakan berbagai perlengkapan upacara. Selama 3 hari
terus sibuk hanya kerja fisik, sama sekali tidak ada waktu untuk pengisian
rohani.
Pas pada hari odalan, mulai dari jam 04.00 - 09.00 pagi juga sibuk "mebat"
membuat "ben banten". Dari jam 09.00 - 16.00 waktu jeda. Pas jam 16.00
kentongan dibunyikan pertanda semua Krama Desa laki perempuan dan anak-anak
harus hadir di Pura untuk mengikuti proses upacara odalan. Setelah Sang
Sulinggih selesai "mapuja menghaturkan banten piodalan", dilakukan
sembahyang bersama. Setelah selesai sembahyang, "nunas wangsuh pada + bija"
lalu bubar. Besoknya selama 3 hari "nyejer" juga dilakukan persembahyangan.
Biasanya disertai dengan pertunjukkan tari-tarian atau wayang kulit. Pada
hari ketiga setelah odalan barulah "nyineb/nyimpen". Begitulah praktek agama
Hindu di Desa Pakraman dari dulu sampai sekarang. Upacara odalan yang
diselenggarakan setiap 6 bulan sekali selama 6 hari di dominasi oleh
kegiatan fisik, tidak diimbangi dengan pengisian rohani (filsafat).
Pengisian filsafat yang dulunya dapat disisipkan dalam pertunjukkan kesenian
seperti wayang kulit sekarang sudah mulai diplintir hanya sebagai humor dan
hiburan semata. Sehingga otomatis semua rangkaian upacara itu hanya
menyentuh panca indra saja. Jadi hanya panca indra yang kenyang atau senang,
sedangkan rohaninya kelaparan karena tidak diberi santapan rohani. Itulah
makanya pada umumnya rohani umat Hindu lemah karena kelaparan. Rohani yang
lemah menyebabkan moral runtuh.
Seandainya hati kecil Anda membantah hal ini, cobalah iseng merenungkan
cerita singkat para orang Suci berikut:
Di bawah pohon mangga yang buahnya lebat, sebagian buahnya ada yang sudah
rusak, ada dua orang (si A dan si B) duduk latihan meditasi. Beberapa saat
kemudian ada buah mangga yang sudah masak jatuh di depan mereka.
Si A bertanya kepada si B: "apa yang menyebabkan buah mangga itu jatuh?"
Si B menjawab: "karena digetarkan oleh tiupan angin".
Si A menyangkal: " bukan angin melainkan karena sudah masak".
Si B menyangkal: "bukan karena masak, melainkan karena ditarik oleh daya
tarik bumi (hukum gravitasi)". Begitulah perdebatan itu berkepanjangan
karena saling mempertahankan pendapat. Kemudian si C datang memungut buah
mangga itu lalu dimakannya. Si A dan si B asyik berdebat sedangkan si C
asyik menikmati buah mangga yang manis.
Kurang lebih seperti itulah nasib orang Bali yang suka memperdebatkan
sesuatu yang tidak perlu Misalnya antara orang yang suka dengan penampilan
upacara yang megah meriah berhura-hura dengan orang yang berupacara
sederhana, rasional sesuai dengan petunjuk sastra agama. Antara parisadha A
dengan parisadha B, antara kulit A dengan kulit D. Yang berkulit A merasa
lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan si kulit D. Si kulit D tidak mau
direndahkan martabatnya lalu memasang merk kulit Ratu Bagus, Ratu Ngurah,
Ratu Bhagavan. Pada pintu gerbang rumahnya juga dipasangin plakat Gerya Ratu
Bagus, Gerya Ratu Bhagavan dan sebagainya. Hanya masalah merk dari "Si"
menjadi "Gusti" sampai menyeret Krama Banjar untuk saling kroyok. Orang yang
terlalu fanatic dengan kulit disebut orang berpenyakit kulit atau disebut
"Krpana" artinya orang yang rohaninya lemah dan miskin (Bhagavadgita Menurut
Aslinya hal. 78). Rsi Astavakra menamakan orang itu seperti tukang sepatu.
Sebab tukang sepatu sangat menghargai kulit untuk dijadikan sepatu yang laku
dijual dengan harga mahal. Jadi jika ada orang yang masih mengagung-agungkan
kulitnya dan menganggap kulit orang lain rendah, orang itu adalah sederajat
dengan tukang sepatu.
Seperti si A dan si B yang melihat ada buah mangga jatuh di depannya duduk
semestinya mereka mengambil buah mangga itu untuk dimakan bersama, tetapi
karena asyik memperdebatkan penyebab jatuhnya buah mangga makanya si C lah
yang mengambilnya. Orang Bali yang tinggal di pusat-pusat perekonomian
kebanyakan si A dan si B. mereka tidak segera mengambil keuntungan (rejeki)
dari pusat-pusat perekonomian itu karena suka berdebat dan berdalih,
sehingga sumber-sumber rejekinya diserobot dan dinikmati oleh kaum
pendatang.
Mereka akhirnya mendapat rejeki kelas picisan seperti jasa parkir, satpam,
pengamanan café, ngecer togel, menjual ceper atau canang sari dan yang
sejenis.
Jadi keempat tekanan tersebut di atas yaitu tekanan ekonomi, kesehatan,
intelektual dan tekanan rohani menyebabkan rohaninya lemah. Rohani yang
lemah menyebabkan tidak percaya diri, pesimis dan kemerosotan moral. Cirinya
moralnya merosot dapat dilihat dari beberapa kejadian sebagai berikut:
Sabung ayam diadakan di Jaba Pura atau di dekat Pura dengan dalih "tabuh
rah". Hal ini merusak mental anak-anak, menganggu keuangan rumah tangga dan
mencemari kesucian upacara. Sebab agama melarang umatnya berjudi, karena
judi itu tergolong dosa besar (Manava Dharma Sastra IV. 74 dan IX. 221-224).
Mabuk, berjudi dan selingkuh adalah tiga dosa besar. Ketiga dosa itu disebut
tiga jurang mengangga yang menyebabkan manusia jatuh sengsara. Orang yang
berani melakukan dosa besar ini dipersamakan dengan orang yang tidak
beragama (atheis) karena tidak percaya dengan perintah agama. Perintah agama
sama dengan perintah Tuhan. Orang yang melawan Tuhan adalah orang atheis.
Walaupun dia melakukan upacara dengan megah meriah, tidak berpahala karena
upacaranya merupakan pameran bakti untuk tontonan agar dikagumi oleh orang
banyak.
Masalah perkelahian dan saling kroyok terjadi di mana-mana. Tidak hanya di
café terjadi saling kroyok, di berbagai tempat di luar café pun terjadi
saling kroyok. Celakanya lagi justru pada hari-hari suci seperti pada
"Pangerupukan Nyepi" dan pada hari Galungan terjadi saling kroyok. Pihak
yang kalah masuk UGD bahkan ada yang sampai mati, sedangkan pihak yang
menang masuk penjara. Kalah menjadi abu, menang menjadi arang.
Café semakin menyebar sampai ke pelosok desa yang menyebabkan banyak suami
istri bercekcokan karena suaminya jarang di rumah, uangnya terkuras bahkan
ada yang sampai menjual tanah untuk biaya ini itu di café. Risikonya akan
ketularan penyakit AIDS/HIV. Café ini juga merusak moral para remaja,
merupakan pemicu pergaulan sex bebas. Menurut survey Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2010 bahwa 51 % remaja perempuan
umur 13-18 tahun tidak perawan dan 17% hamil di luar nikah yang pada
akhirnya digugurkan. Diantara mereka ada yang melahirkan di kamar mandi, ada
di parit sawah, ditempat pembuangan sampah dan rumah dukun.
Menurut berita di Koran bahwa hampir setiap hari terjadi kekerasan di rumah
tangga (KDRT). Sungguh kasihan nasib kaum perempuan yang menjadi korban
segala-galanya. Dimana kaum perempuan tidak dihormati maka keluarga itu akan
cepat hancur. Upacara apa pun yang dilaksanakan di keluarga itu tidak
berpahala (Manava Dharma sastra III. 57). Sebaliknya di mana kaum perempuan
disayangi, disitu para dewa senang.
Pencabulan anak perempuan di bawah umur. Perbuatan ini tergolong dosa maha
besar atau Maha Pataka (Slokantara 77 hal. 121). Yang lebih menyayat hati
lagi ada di antaranya diperkosa oleh ayah kandung dan oleh kakeknya sendiri.
Kalau sudah begini kejadiannya, siapa yang mesti bertanggung jawab untuk
pengisian rohani umat Hindu? Bolehkah menuntut kepada tokoh yang
menggebu-gebu mendorong umat Hindu agar melakukan upacara yang megah meriah
berhura-hura? Di mana pahala upacara yang mengorbankan 26 ekor kerbau dengan
biaya 2,6 milyar? Adakah cara berupacara seperti itu akan membuat umat Hindu
yang polos dan lugu menjadi "katak rebus"?
Sengketa tanah, kuburan, perbatasan, sumber air, jalan, gang, jabatan
semakin meluas. Sengketa itu tidak hanya antara antara orang perorang,
tetapi sampai antar Banjar dengan Banjar. Hal ini merupakan salah satu ciri
bahwa orang Bali sudah terdesak oleh kaum pendatang yang menguasai
sumber-sumber rejeki di Bali kemudian menguasai tanah-tanah yang strategis
di Bali. Bukti keterdesakan orang Bali dapat diukur dari hunian dalam satu
pekarangan rumah. Pada Tahun 1965 satu pekarangan dihuni oleh 1 KK, tetapi
sekarang dihuni oleh 3 KK. Mengapa begitu? Karena tidak mampu membeli
pekarangan. Orang Bali Hindu menjadi seperti sekelompok ayam yang
ditempatkan di kandang yang sempit sehingga saling cakar (kanibal). Ayam
yang kalah akhirnya dimakan beramai-ramai oleh yang menang. Walaupun sudah
begitu kondisinya, tetapi Guru Raksasa Yoni terus saja mengebu-gebu
mendorong umat Hindu berhura-hura dengan dalih "mayadnya". Kekacauan di
rumah tangga disomya dengan Caru Resigana yang biayanya belasan juta rupiah.
Umat yang lugu manut-manut saja walaupun dia mengalami kerugian 2 X lipat
yaitu kekacauannya tidak mereda dan uangnya terkuras untuk upacara ini dan
upacara itu.
Sakit yang disebabkan oleh virus Rabies (anjing gila) tidak bisa disembuhkan
dengan boreh. Tetapi karena Guru Raksasa Yoni tahunya hanya boreh, maka
penderita Rabies pun diobati dengan boreh. Kekacauan rumah tangga yang
disebabkan oleh terpuruknya perekonomian tidak bisa disomya dengan caru
sebesar apapun. Bom di Kuta yang dipicu oleh teroris tidak bisa ditolak
dengan Caru Karipu Baya yang menelan biaya Rp 700 juta. Uang segitu akan
lebih bermanfaat jika digunakan membangun Pesantian atau mungkin panti
asuhan untuk anak-anak yang orang tuanya meninggal dan cacat gara-gara bom
tersebut.
Angka kematian dengan jalan gantung diri dan minum racun semakin meningkat.
Hal ini pun disomya dengan banten caru. Umat yang rohaninya lemah amat mudah
ditipu oleh iblis agar dia gantung diri atau minum racun. Sebab setelah umat
mati akan diadakan upacara pacaruan menjamu iblis. Umat yang tidak pernah
mendapat pencerahan tentang akibat dari perbuatan bunuh diri (ngulah pati),
mengira bahwa setelah mati habis perkara. Padahal rohnya akan menderita
sekian kali lipat di alam roh. Nyonya Aikogibo yang memiliki kemampuan
melihat roh dan berkomunikasi dengan roh mengatakan bahwa orang yang bunuh
diri rohnya mengalami penderitaan sampai 100 X lipat dibandingkan dengan
penderitaan pada waktu dia masih hidup. Itulah makanya semua agama di dunia
melarang umatnya bunuh diri.
Yang paling memalukan adalah pencurian benda-benda sakral oleh umat Hindu
sendiri. Contoh kejadian-kejadian ini adalah pertanda rohani uamt Hindu
lemah sehingga mudah ditipu oleh hantu dan iblis/setan. Kalau saja rohaninya
kuat (cerah) maka hal itu bisa dicegah. Mengapa rohaninya lemah? Karena
jarang sekali mendapat santapan rohani. Kalau badan tidak diberi makan dan
minum atu hari saja menyebabkan badan itu lemah. Begitu pula jika rohani
tidak diberi santapan rohani sama saja menjadi lemah. Badan yang lemah tidak
mampu menolak penyakit. Rohani yang lemah tidak mampu menolak bisikan yang
menyesatkan dan membahayakan. Caru ini dan caru itu hanya menguntungkan para
iblis dan Guru Raksasa Yoni mendapat daksina penuh. Buktinya sudah amat
sering di seluruh Bali diadakan caru ini dan caru itu mulai dari caru eka
sata sampai yang amat besar dengan mengorbankan banyak binatang, nyatanya
kemerosotan moral terus meningkat. Jika caru itu berpahala, semestinya
kehidupan umat Hindu semakin makmur, semakin rukun, tentram dan damai.
Semestinya kehidupan umat Hindu semakin makmur, semakin rukun, tentram dan
damai. Semestinya tidak terdesak oleh kaum pendatang. Kaum pendatang
mendirikan usaha besar di Bali, orang Bali mendirikan café. Jika ada tokoh
yang membantah pernyataan ini suruh dia membuat proyek di daerah miskin,
agar umat yang miskin menjadi makmur. Jika tidak mampu membuat proyek
mengentaskan kemiskinan, itu namanya seperti subatah (ulat penggerek kayu
yang mulutnya besar). Umat yang miskin tidak memerlukan teori muluk-muluk,
yang diperlukan tindakan nyata.
Nasib umat Hindu di Bali mirip dengan nasib rakyat di kerajaan Ekacakra
karena Rajanya dikalahkan oleh Raksasa Bakasura. Raja yang kalah melarikan
diri. Ada satu keluarga Brahmana yang masih tinggi di situ tidak mampu
melindungi rakyatnya.
Oleh Jero Mangku Wayan Swena
PENTING
Informasi yang disampaikan melalui e-mail ini hanya diperuntukkan bagi pihak penerima sebagaimana dimaksud pada tujuan e-mail ini saja. E-mail ini dapat berisi informasi atau hal-hal yang secara hukum bersifat rahasia. Segala bentuk kajian, penyampaian kembali, penyebarluasan, penyediaan untuk dapat diakses, dan/atau penggunaan lain atau tindakan sejenis atas informasi ini oleh pihak baik orang maupun badan selain dari pihak yang dimaksud pada tujuan e-mail ini adalah dilarang dan dapat diancam sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jika karena suatu kesalahan anda menerima informasi ini harap menghubungi Direktorat Jenderal Pajak c.q. Direktorat KITSDA dan segera menghapus e-mail ini beserta setiap salinan dan seluruh lampirannya.
Komentar
Posting Komentar