SEJAK lama masyarakat tradisional hidup selaras dengan lingkungannya. Mereka yakin sumber penghidupannya ada di dalam hutan, sehingga mereka harus menjaga kelestarian hutan. Saat perlu, dengan penuh kearifan mereka hanya mengambil hasil hutan sebatas keperluan.
Bagi para sanro (dukun) di Kabupaten Sumbawa, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, kearifan tradisional ini juga menjadi kode etik dan rambu pengatur irama kehidupan manusia, segala makhluk hidup, beserta ekosistemnya. Karena itu sebelum memanfaatkan isi hutan, para sanro minta izin dulu seraya memohon Ridho Tuhan.
Jauh-jauh hari sebelum membuat minyak obat, sanro pun melakukan shalat sunat minta petunjuk Sang Khalik, dan selama minyak diproses sanro dalam keadaan suci.
Aktivitas yang penuh ritual ini merupakan tanda hormat kepada Yang Maha Pencipta, sekaligus menjadi manifestasi konservasi. Mengambil kulit pohon selalu dalam bentuk segi tiga misalnya, bisa diterjemahkan sebagai harmonisasi hubungan Tuhan, manusia dan jagat raya. Sedang prinsip kebersihan dan kesehatan diwujudkan dari sikap para sanro yang menjaga kesucian dirinya lewat air wudhu saat membuat minyak samawa.
***
PRAKTIK para sanro berdasarkan panggilan nurani dan ketulusan membantu si sakit. Kalau pasien ingin memberi imbalan jasa, itu harus tanpa setahu sanro. Jadi lewat perantara seperti istri dan anak sanro.
Menolak imbalan jasa diyakini sebagai prasyarat utama sanro "diberi" keahlian. Itu diekspresikan Sanro Abdul Latif dalam petatah-petitih, Siong si aku ade ramido, ke siong si nya ade kumido, yang berarti "Bukan aku yang mengobati, juga bukan dia yang saya obati."
Kalimat di atas, mengisyaratkan kepasrahan dan kekerdilan manusia di hadapan Allah. Memang manusia wajib berikhtiar, namun kesembuhannya terpulang pada Sang Pencipta. Seorang sanro dengan ramuannya, hanyalah perantara bagi si sakit.
Menjadi sanro memang tidak mudah. Abdul Latif memperoleh ilmu sejak kecil, dan dalam usia 15 tahun sudah bisa mengobati orang sakit. Ilmu ini diperoleh setelah bertapa tiga bulan. Dalam rentang waktu itu, Latif yang acapkali mengobati orang sakit gila dan patah tulang di berbagai kota, menjadikan tempat pertapaan sebagai rumahnya. Berangkat sekolah pun, dari lokasi pertapaan.
Sedang Haji Murtala dari Desa Ngeru, memulai 'karier' pada usia enam tahun. Keinginan yang muncul ditambah dorongan Samsudin, gurunya di SD yang mahir bermain silat juga sanro terkenal, akhirnya membuat ia berguru bersama 30 orang lainnya. Ia pun mengabdi dan membantu kegiatan rumah tangga sang guru. Ketekunan Murtala membuat gurunya menurunkan keahlian padanya.
Tiga tahun kemudian barulah Murtala 'lulus'. "Satu ramuan obat belum tentu diberikan sekali seminggu, bahkan selama sebulan tidak dikasih apa-apa," kata Murtala yang pernah menyambung telunjuk tangan kanan pasiennya yang nyaris putus.
***
SAYANG, kini para sanro kesulitan mendapat bahan baku. Hutan Olat Rawa, salah satu gudang bahan ramuan, sebagian dijadikan hutan tanaman industri (HTI). Padahal seharusnya yang dijadikan HTI itu lahan kering dan lahan tidur.
"Kami ini orang bodoh, tetapi janganlah dibodoh-bodohi lagi. Kami menolong orang sakit karena amanah. Kalau kawasan itu dijadikan HTI, ke mana lagi kami mencari bahan obat," kata Murtala.
Padahal, prinsip mengelola alam yang berkelanjutan sudah ditunjukkan masyarakat tradisional dan para sanro. Mengapa manusia kota tak mau belajar dari mereka? Haruskah kiprah mereka yang sarat nilai moral itu tersingkirkan? (rul)
Jauh-jauh hari sebelum membuat minyak obat, sanro pun melakukan shalat sunat minta petunjuk Sang Khalik, dan selama minyak diproses sanro dalam keadaan suci.
Aktivitas yang penuh ritual ini merupakan tanda hormat kepada Yang Maha Pencipta, sekaligus menjadi manifestasi konservasi. Mengambil kulit pohon selalu dalam bentuk segi tiga misalnya, bisa diterjemahkan sebagai harmonisasi hubungan Tuhan, manusia dan jagat raya. Sedang prinsip kebersihan dan kesehatan diwujudkan dari sikap para sanro yang menjaga kesucian dirinya lewat air wudhu saat membuat minyak samawa.
***
PRAKTIK para sanro berdasarkan panggilan nurani dan ketulusan membantu si sakit. Kalau pasien ingin memberi imbalan jasa, itu harus tanpa setahu sanro. Jadi lewat perantara seperti istri dan anak sanro.
Menolak imbalan jasa diyakini sebagai prasyarat utama sanro "diberi" keahlian. Itu diekspresikan Sanro Abdul Latif dalam petatah-petitih, Siong si aku ade ramido, ke siong si nya ade kumido, yang berarti "Bukan aku yang mengobati, juga bukan dia yang saya obati."
Kalimat di atas, mengisyaratkan kepasrahan dan kekerdilan manusia di hadapan Allah. Memang manusia wajib berikhtiar, namun kesembuhannya terpulang pada Sang Pencipta. Seorang sanro dengan ramuannya, hanyalah perantara bagi si sakit.
Menjadi sanro memang tidak mudah. Abdul Latif memperoleh ilmu sejak kecil, dan dalam usia 15 tahun sudah bisa mengobati orang sakit. Ilmu ini diperoleh setelah bertapa tiga bulan. Dalam rentang waktu itu, Latif yang acapkali mengobati orang sakit gila dan patah tulang di berbagai kota, menjadikan tempat pertapaan sebagai rumahnya. Berangkat sekolah pun, dari lokasi pertapaan.
Sedang Haji Murtala dari Desa Ngeru, memulai 'karier' pada usia enam tahun. Keinginan yang muncul ditambah dorongan Samsudin, gurunya di SD yang mahir bermain silat juga sanro terkenal, akhirnya membuat ia berguru bersama 30 orang lainnya. Ia pun mengabdi dan membantu kegiatan rumah tangga sang guru. Ketekunan Murtala membuat gurunya menurunkan keahlian padanya.
Tiga tahun kemudian barulah Murtala 'lulus'. "Satu ramuan obat belum tentu diberikan sekali seminggu, bahkan selama sebulan tidak dikasih apa-apa," kata Murtala yang pernah menyambung telunjuk tangan kanan pasiennya yang nyaris putus.
***
SAYANG, kini para sanro kesulitan mendapat bahan baku. Hutan Olat Rawa, salah satu gudang bahan ramuan, sebagian dijadikan hutan tanaman industri (HTI). Padahal seharusnya yang dijadikan HTI itu lahan kering dan lahan tidur.
"Kami ini orang bodoh, tetapi janganlah dibodoh-bodohi lagi. Kami menolong orang sakit karena amanah. Kalau kawasan itu dijadikan HTI, ke mana lagi kami mencari bahan obat," kata Murtala.
Padahal, prinsip mengelola alam yang berkelanjutan sudah ditunjukkan masyarakat tradisional dan para sanro. Mengapa manusia kota tak mau belajar dari mereka? Haruskah kiprah mereka yang sarat nilai moral itu tersingkirkan? (rul)
Sumber: Kompas
Komentar
Posting Komentar